Bulan Ramadhan, dalam hitungan hari ada di hadapan. Hari demi hari penuh penantian. Menunggu terbitnya hilal Ramadhan dan pengumuman pemerintah untuk memulai ibadah puasa Ramadhan. Aduhai, betapa lalainya kita dari keagungan bulan ini. Seolah Ramadhan masih lama. Padahal, bulan itu tinggal beberapa hari lagi tiba membersamai kita.
Saudaraku, kemuliaan bulan Ramadhan sungguh membuat rindu insan beriman. Tidakkah engkau merasakan bagaimana semangat ketaatan kaum muslimin begitu membara di bulan puasa? Tidakkah engkau melihat bagaimana perut-perut manusia tunduk kepada perintah kepada Rabb mereka. Mereka tidak makan, tidak minum, berjam-jam lamanya demi melaksanakan perintah Allah ta’ala. Inilah bukti kesucian fitrah mereka dan kesadaran mereka akan tujuan hidupnya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Allah ta’ala juga memberitakan (yang artinya), “(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2). Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud ‘yang terbaik amalnya’ adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas apabila ditujukan kepada Allah, dan benar jika sesuai dengan tuntunan/as-Sunnah.
Ibadah adalah sebuah kenikmatan tiada tara di hati orang-orang yang beriman. Sebuah kenikmatan yang tidak bisa ditukar dengan dunia dan segala kesenangan yang ada di dalamnya. Kebahagiaan yang meresap ke dalam relung-relung hati dan perasaan hamba-hamba-Nya. Sebagian ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini terdapat sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya maka dia tidak akan masuk surga di akherat.” Ketahuilah, bahwasanya surga dunia itu adalah ma’rifatullah/mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Menggantungkan hati kepada-Nya semata. Itulah yang senantiasa kita ikrarkan dalam sholat kita, Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in: “Hanya kepada-Mu Ya Allah kami beribadah, dan Hanya kepada-Mu Ya Allah kami meminta pertolongan.” Inilah sebuah kebahagiaan yang dirasakan oleh hati setiap insan beriman.
Saudaraku -semoga Allah merahmatimu- ibadah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita bukanlah untuk kepentingan atau kebutuhan Allah kepada hamba-Nya. Karena Allah tidak membutuhkan siapa pun juga. Allah Maha Hidup, Allah Maha Berdiri Sendiri. Segala sesuatu butuh kepada-Nya sedangkan Dia tidak membutuhkan mereka semuanya. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, bumi yang kita pijak, makanan yang kita konsumsi. Semuanya adalah anugerah dari-Nya. Meskipun demikian, tidak sedikit pun Allah mengharapkan rezki dan upeti dari kita untuk-Nya.
Ibadah adalah kebutuhan kita. Ibadah adalah sesuatu yang memberikan ruh dan kehidupan dalam diri kita. Oleh sebab itu, sebagian ulama salaf begitu gandrung dengan ibadah dan sangat sedih apabila kehilangan hal itu. Tsabit al-Bunani rahimahullah -salah seorang murid Sahabat Anas bin Malik- mengatakan, “Wahai Rabbi, seandainya Engkau ijinkan seseorang untuk melakukan sholat di dalam kuburnya, maka ijinkanlah aku.” Aduhai, betapa jauhnya kondisi kita dengan kondisi mereka…
Dikisahkan, bahwa seorang wanita ahli ibadah yang rajin berpuasa ketika menjelang wafatnya dinasehati supaya membatalkan puasanya karena kondisinya memprihatinkan. Namun, dengarlah apa yang dia katakan, “Aduhai, semenjak dahulu aku terus berdoa untuk meninggal dalam keadaan berpuasa. Lalu sekarang dalam kondisi ini mereka justru menyuruhku membatalkan puasa?!” Saudaraku, adakah keinginan dan cita-cita kita sebagaimana keinginan dan cita-cita mereka??